Thursday, April 14, 2005

Panti-Panti

“BLAM!”

Tembokku bergetar lagi.
Terdengar dengung-dengung pelan.
Ada pergulatan seru lagi di ruang sebelah. Bosan.

Ya, aku tak bisa protes. Aku bisu. Dan pincang pula.
Tapi hanya karena aku bisu bukan berarti aku tuli kan?
(Mengapa semua orang menyangka kalau kita bisu pasti kita tuli juga?)
Sungguh menyebalkan mendengarkan keributan, pertengkaran sengit, dan tak mampu berbuat apa-apa untuk menyudahinya.
Untuk mengatakan kepada kedua belah pihak ”DIAMMM!!!!! Jangan rusak pagiku!”

Entah.
Di Panti ”Krama” ini semuanya terbalik.
Yang seharusnya disebutkan sebagai pusat untuk ber”tata krama”, ternyata sama sekali tidak menjunjung tinggi apa yang dipropagandakannya.
Yang seharusnya menjadi pengelola tidak menjalankan perannya dengan baik.
Yang menjadi penyandang dana tidak mampu (atau tidak mau?) membantu membuat keputusan pelik.
Anggota Panti yang lain? Masing-masing sibuk dengan aktivitas di Panti masing-masing.

Sambil tertatih-tatih aku berjalan keluar. Bersiap-siap.
Kututup pintu Panti ”Krama” pelan-pelan.
Ya, hari ini, seperti hari-hari lainnya, aku pergi ke Panti ”Karya”.

Sepi.
Ya, di sini sepi.
Tidak seperti di Panti ”Krama”.

Saking sepinya aku sampai ketakutan sendiri.

Rekan-rekan sejawat, senasib dan sepenanggungan sudah berkeliaran.
Bunyi ketuk palu, bunyi las, bunyi roda-roda berdecit.
Ramai memang. Tapi suasana tidak hidup.
Tidak seperti seharusnya.

Rekan-rekan sudah mulai berdatangan.
Ada yang mencicit, tapi kebanyakan hanya mengangguk.
Ya, mereka senasib denganku.
Bisu.
Dan pincang.
Bahkan ada pula yang jereng.
Yang agak tidak bisu ternyata bibirnya sumbing. Jadi apa yang diomongkannya serba tidak jelas.
Iya.
Kami semua sama.
Dan Panti ”Karya” inilah yang sanggup menampung kami.

Ya, mungkin juga karena pengelolanya merasa senasib dengan kami.
Tidak, ia tidak jereng.
Tidak pula pincang.
Apalagi bisu.
Tapi ia tuli.

Entah bawaan dari lahir, atau kotoran menahun yang tidak dibersihkan dan menebal terus yang membuatnya tuli seperti itu.
Yang jelas, sehari-hari kami berkarya setengah hati.

Ya, bagaimana tidak?
Satu-satunya bahasa yang kami ketahui dan kami gunakan tidak diketahui oleh pengelola Panti.
Akibatnya, sering terjadi kesalahpahaman.
Ya, kesalahpahaman adalah nama populer di sini.

Lebih lagi karena si pengelola bukan seorang yang, ya... bisa dibilang tercerdik diantara lainnya, tapi dia menjadi pengelola karena dialah satu-satunya yang sanggup bicara.
Sayangnya, kesanggupan bicara itu tidak didukung oleh kesanggupan berpikir.

Jadi?
Klop lah.

Si Tuli Bodoh yang memimpin kaum bisu, pincang, dan jereng.



Aku kembali menekur ukiranku.
Belakangan ini ukiranku tak lagi masuk hitungan.
Sulit dijual juga, katanya.
Padahal hari-hari sebelumnya aku selalu bisa menghasilkan masterpiece demi masterpiece.
Mungkin sedang tidak produktif saja, aku selalu menghibur diriku.
Bagaimanapun juga, di saat sedang prima, aku mampu menghasilkan lebih dari 3 ukiran renik dalam seminggu! Lumayan kan?

Si Tuli Bodoh kembali menggangguku.
Dan yang lain juga tentunya.
Entah kapan kursi panas itu akan menjadi terlalu panas baginya, sampai-sampai ia tidak tahan lagi duduk di sana, dan akhirnya mau lengser.
Dan mungkin salah satu dari yang agak lumayan bisa bicara bisa segera menggantikannya.

Tapi kapan itu terjadi, entah sampai harus berapa garis keturunan hal itu terjadi.



Panti ”Krama” dan Panti ”Karya”.
Keduanya punya surga dan neraka sendiri.
Sedangkan aku?
Aku berada di tengah-tengahnya.

Entah sampai kapan.

1 Comments:

Blogger Kikie said...

Good..

Sapa bilang lo gak bisa nulis dalam bahasa Indonesia?

10:47 PM  

Post a Comment

<< Home