Kompromi?
Friday, 11 Maret 2005
“Hey Ta… Akhirnya gue jadian sama dia.”
“Waaahhh, selamat yaa… Wah, berarti hari Senin kita makan enak nih, hehehe…”
“Yah… Tapi gue nggak tau apa gue harus seneng atau sedih.”
“Umm, kok? Kenapa?”
Saturday, 12 Maret 2005
“Hey Ta, lagi ngapain lo?”
“Hehehe, jalan aja di Mal Kelapa Gading, ditraktir makan nihh… Knapa?”
“Umm, kayaknya gue udah putus deh, kayaknya dia nggak bisa nerusin hubungan ini.”
“WHAT??!?! Serius lo?”
Percakapan itu berlangsung singkat.
Tapi bagi Oji mungkin percakapan tadi berjalan berabad-abad lamanya.
Oji teman sekantorku, wanita Jawa Islam. Dan Swang Heng, pria yang dimaksud itu, seorang pria Cina Katolik.
Mereka bertemu di kantor. Tempat paling heterogen dan liberal. Tempat di mana perbedaan tidak menjadi masalah.
Oji kenal Swang Heng cukup intensif, walau mereka baru saling mengenal beberapa waktu belakangan ini. Walaupun saling berbeda, mereka sangat compatible.
Ya, wajar. Karena si pria sudah seumurku, 4 tahun lebih tua daripada si Oji sendiri.
Hari Jumat itu Oji menelponku hanya untuk bercerita tentang moments of truth-nya. Entah kenapa, Oji selalu mengatakan kalau dia ragu akan keputusan mereka.
Apakah mereka terlalu terburu-buru?
Keputusan akhir adalah, mereka akan mencoba menjembatani perbedaan prinsipil tadi.
Dan aku bisa tertawa-tawa mendengar cerita Oji.
Namun hari ini beda.
Dia hanya bilang, ternyata Swang Heng betul-betul tidak yakin.
Ternyata ia masih takut hubungan mereka akan ditentang keluarganya.
Aku jadi tertegun.
“Ji, nanti gue telepon elo lagi kali ya.”
Alasan klise kuberikan padahal aku hanya ingin berpikir.
Dalam any given relationships, perbedaan akan menyakiti paling sedikit satu orang.
Dan dalam hal ini, Oji yang paling merasakannya.
Oji telah berkelana dari satu pria ke pria lain. Dan selama ini ia belum pernah berani mengambil resiko untuk membina hubungan dengan pria yang tidak seiman dengannya.
Namun kali ini, ia betul-betul terjebak dengan seorang pria yang berbeda. Suku maupun kepercayaan.
Dan Oji mau mengambil resikonya. Namun Swang Heng tidak.
Apakah dalam hubungan ini Swang Heng tidak mau kompromi? Dia yang memulai segalanya. Dia pula yang kembali ragu-ragu. Kalau begitu, kenapa dia berani memulainya?
Apakah dia berpikir Oji akan berkorban demi dirinya?
Apakah dalam hubungan singkat itu Swang Heng berharap Oji akan dengan mudah melepaskan seluruh kepercayaannya untuk dapat bersama dirinya?
Apakah itu kompromi? Dan apakah itu pengorbanan?
Oji bersedia kompromi dengan menjadi hubungan gelap Swang Heng. Namun tentunya ia tidak akan mengorbankan agamanya demi pria itu.
Sedangkan Swang Heng, ia takut untuk memulai. Memulai sesuatu yang akan terlalu berat untuk dilanjutkan, dan terlalu pedih untuk diakhiri.
Mungkin bagi Oji dan Swang Heng, hubungan ini sudah berakhir.
Tapi seharusnya hubungan ini baru dimulai dengan segala kesulitannya.
Karena mereka sudah menyerah sebelum berperang.
Dan mereka tidak akan menemukan kebahagiaan mereka.
Ataupun belajar dari kesedihan.
“Hey Ta… Akhirnya gue jadian sama dia.”
“Waaahhh, selamat yaa… Wah, berarti hari Senin kita makan enak nih, hehehe…”
“Yah… Tapi gue nggak tau apa gue harus seneng atau sedih.”
“Umm, kok? Kenapa?”
Saturday, 12 Maret 2005
“Hey Ta, lagi ngapain lo?”
“Hehehe, jalan aja di Mal Kelapa Gading, ditraktir makan nihh… Knapa?”
“Umm, kayaknya gue udah putus deh, kayaknya dia nggak bisa nerusin hubungan ini.”
“WHAT??!?! Serius lo?”
Percakapan itu berlangsung singkat.
Tapi bagi Oji mungkin percakapan tadi berjalan berabad-abad lamanya.
Oji teman sekantorku, wanita Jawa Islam. Dan Swang Heng, pria yang dimaksud itu, seorang pria Cina Katolik.
Mereka bertemu di kantor. Tempat paling heterogen dan liberal. Tempat di mana perbedaan tidak menjadi masalah.
Oji kenal Swang Heng cukup intensif, walau mereka baru saling mengenal beberapa waktu belakangan ini. Walaupun saling berbeda, mereka sangat compatible.
Ya, wajar. Karena si pria sudah seumurku, 4 tahun lebih tua daripada si Oji sendiri.
Hari Jumat itu Oji menelponku hanya untuk bercerita tentang moments of truth-nya. Entah kenapa, Oji selalu mengatakan kalau dia ragu akan keputusan mereka.
Apakah mereka terlalu terburu-buru?
Keputusan akhir adalah, mereka akan mencoba menjembatani perbedaan prinsipil tadi.
Dan aku bisa tertawa-tawa mendengar cerita Oji.
Namun hari ini beda.
Dia hanya bilang, ternyata Swang Heng betul-betul tidak yakin.
Ternyata ia masih takut hubungan mereka akan ditentang keluarganya.
Aku jadi tertegun.
“Ji, nanti gue telepon elo lagi kali ya.”
Alasan klise kuberikan padahal aku hanya ingin berpikir.
Dalam any given relationships, perbedaan akan menyakiti paling sedikit satu orang.
Dan dalam hal ini, Oji yang paling merasakannya.
Oji telah berkelana dari satu pria ke pria lain. Dan selama ini ia belum pernah berani mengambil resiko untuk membina hubungan dengan pria yang tidak seiman dengannya.
Namun kali ini, ia betul-betul terjebak dengan seorang pria yang berbeda. Suku maupun kepercayaan.
Dan Oji mau mengambil resikonya. Namun Swang Heng tidak.
Apakah dalam hubungan ini Swang Heng tidak mau kompromi? Dia yang memulai segalanya. Dia pula yang kembali ragu-ragu. Kalau begitu, kenapa dia berani memulainya?
Apakah dia berpikir Oji akan berkorban demi dirinya?
Apakah dalam hubungan singkat itu Swang Heng berharap Oji akan dengan mudah melepaskan seluruh kepercayaannya untuk dapat bersama dirinya?
Apakah itu kompromi? Dan apakah itu pengorbanan?
Oji bersedia kompromi dengan menjadi hubungan gelap Swang Heng. Namun tentunya ia tidak akan mengorbankan agamanya demi pria itu.
Sedangkan Swang Heng, ia takut untuk memulai. Memulai sesuatu yang akan terlalu berat untuk dilanjutkan, dan terlalu pedih untuk diakhiri.
Mungkin bagi Oji dan Swang Heng, hubungan ini sudah berakhir.
Tapi seharusnya hubungan ini baru dimulai dengan segala kesulitannya.
Karena mereka sudah menyerah sebelum berperang.
Dan mereka tidak akan menemukan kebahagiaan mereka.
Ataupun belajar dari kesedihan.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home